Buat Ankaa: Episode Kereta Merah
Ankaa sayangku, tadi pagi waktu Ummi di Stasiun Pondok Ranji, ada ibu-ibu gendong adik bayi. Masih merah, persis kaya Ankaa waktu baru lahir dulu. Ummi tanya pada ibu itu, berapa hari usia adik bayi. Katanya baru seminggu. Adik bayi mau diajak ke pasar beli pisang.
Buat siapa? Ternyata pisang itu untuk disuapkan pada adik bayi. Kata ibunya, atas suruhan sang bapak yang tak tahan mendengar rewelnya adik bayi.
Ummi, Tante Tya (yang kebetulan ketemu), dan satu ibu lagi refleks melarang ibu itu memberi pisang. Cukup ASI ASI dan ASI saja sampai adik bayi usia enam bulan. Ibunya setuju, tapi enggan berdebat dengan sang bapak.
Setelah itu kereta datang. Ummi dan Tante Tya segera naik. Ummi kira ibu itu juga naik kereta, ternyata tidak. Ankaa tahu dia naik apa? Ibu dan adik bayi naik kereta ekonomi. Kereta merah. Yang hanya berani Ummi naiki waktu masih lajang dulu. Kereta yang penumpangnya berjejal persis ikan asin. Bukan kereta ekspres dengan tempat duduk empuk dan berpendingin udara seperti yang selalu Ummi naiki.
Ankaa sayangku, hari ini hampir tak kuat Ummi menahan airmata. Ummi ingat kamu, Nak. Iya kita memang tidak hidup mewah, tapi cukup. Insyaallah Ankaa tidak harus sampai naik kereta merah itu. Ankaa juga tidak akan dapat pisang sebelum waktunya. Ummi dan Abi sudah bertekad untuk memberi ASI Eksklusif untuk Ankaa.
Ummi berpikir, kenapa bapak adik bayi itu tak tahan mendengar anaknya rewel? Bukankah wajar jika bayi menangis. Apalagi adik bayi adalah anak ketiga, bukan lagi anak pertama. Dia sudah punya pengalaman dua orang anak.
Dan kenapa bapak si adik bayi begitu ngotot memberi pisang? Ummi hanya bisa husnudzon, menganggap bahwa bapak itu tidak tahu tentang ASI Eksklusif. Dan mungkin naiknya harga-harga belakangan ini membuat dia pusing, hingga suara tangis bayi pun bisa membuat kepalanya terasa hampir pecah.
Ummi menyesal kenapa tadi tidak meminta ibu itu pulang saja. Dia baru seminggu melahirkan, tentunya jahitan belum kering, kekuatan pun belum pulih. Ummi tidak tega membayangkan dia dan adik bayi harus berdesakan di kereta merah, bercampur baur dengan begitu banyak orang. Belum lagi asap rokoknya. Panasnya. Baunya. Segalanya.
Ummi juga menyesal karena sempat mengira ibu itu seorang pengemis. Karena bajunya lusuh dan selendang untuk menggendong bayinya yang sobek. Duh Nak, andai tadi ada pintukemanasaja, Ummi akan berikan gendongan milik kita yang jumlahnya cukup untuk buka toko gendongan itu.
Ankaa sayang, ya inilah dunia Nak. Tidak semua orang seberuntung kita. Ummi hanya bisa berharap, semoga adik bayi tadi dan keluarganya selalu dalam lindungan Allah.
Ankaa sayang, Ummi ingin sekali bisa berkata: toh itu bukan Ankaa. Sungguh. Tapi Ummi nggak bisa, Nak. Kadang ingin sekali Ummi melupakan hal-hal seperti ini. Mungkin sesekali Ummi harus memukul kepala ya. Mungkin di saat seperti inilah amnesia berguna.
Ankaa sayang, kalau suatu saat kamu mengalami kejadian serupa, tolong bersikaplah lebih baik dari Ummi ya. Mintalah ibu itu pulang, kalau perlu bekali dengan sedikit uang. Yakinkan dia untuk tidak memberi pisang pada bayi merah itu. Jangan mengecam bapaknya, siapa tahu dia memang awam tentang perawatan bayi. Bukannya Ummi pakar. Ummi juga masih belajar, dari kamu, guru kecil Ummi.
Buat siapa? Ternyata pisang itu untuk disuapkan pada adik bayi. Kata ibunya, atas suruhan sang bapak yang tak tahan mendengar rewelnya adik bayi.
Ummi, Tante Tya (yang kebetulan ketemu), dan satu ibu lagi refleks melarang ibu itu memberi pisang. Cukup ASI ASI dan ASI saja sampai adik bayi usia enam bulan. Ibunya setuju, tapi enggan berdebat dengan sang bapak.
Setelah itu kereta datang. Ummi dan Tante Tya segera naik. Ummi kira ibu itu juga naik kereta, ternyata tidak. Ankaa tahu dia naik apa? Ibu dan adik bayi naik kereta ekonomi. Kereta merah. Yang hanya berani Ummi naiki waktu masih lajang dulu. Kereta yang penumpangnya berjejal persis ikan asin. Bukan kereta ekspres dengan tempat duduk empuk dan berpendingin udara seperti yang selalu Ummi naiki.
Ankaa sayangku, hari ini hampir tak kuat Ummi menahan airmata. Ummi ingat kamu, Nak. Iya kita memang tidak hidup mewah, tapi cukup. Insyaallah Ankaa tidak harus sampai naik kereta merah itu. Ankaa juga tidak akan dapat pisang sebelum waktunya. Ummi dan Abi sudah bertekad untuk memberi ASI Eksklusif untuk Ankaa.
Ummi berpikir, kenapa bapak adik bayi itu tak tahan mendengar anaknya rewel? Bukankah wajar jika bayi menangis. Apalagi adik bayi adalah anak ketiga, bukan lagi anak pertama. Dia sudah punya pengalaman dua orang anak.
Dan kenapa bapak si adik bayi begitu ngotot memberi pisang? Ummi hanya bisa husnudzon, menganggap bahwa bapak itu tidak tahu tentang ASI Eksklusif. Dan mungkin naiknya harga-harga belakangan ini membuat dia pusing, hingga suara tangis bayi pun bisa membuat kepalanya terasa hampir pecah.
Ummi menyesal kenapa tadi tidak meminta ibu itu pulang saja. Dia baru seminggu melahirkan, tentunya jahitan belum kering, kekuatan pun belum pulih. Ummi tidak tega membayangkan dia dan adik bayi harus berdesakan di kereta merah, bercampur baur dengan begitu banyak orang. Belum lagi asap rokoknya. Panasnya. Baunya. Segalanya.
Ummi juga menyesal karena sempat mengira ibu itu seorang pengemis. Karena bajunya lusuh dan selendang untuk menggendong bayinya yang sobek. Duh Nak, andai tadi ada pintukemanasaja, Ummi akan berikan gendongan milik kita yang jumlahnya cukup untuk buka toko gendongan itu.
Ankaa sayang, ya inilah dunia Nak. Tidak semua orang seberuntung kita. Ummi hanya bisa berharap, semoga adik bayi tadi dan keluarganya selalu dalam lindungan Allah.
Ankaa sayang, Ummi ingin sekali bisa berkata: toh itu bukan Ankaa. Sungguh. Tapi Ummi nggak bisa, Nak. Kadang ingin sekali Ummi melupakan hal-hal seperti ini. Mungkin sesekali Ummi harus memukul kepala ya. Mungkin di saat seperti inilah amnesia berguna.
Ankaa sayang, kalau suatu saat kamu mengalami kejadian serupa, tolong bersikaplah lebih baik dari Ummi ya. Mintalah ibu itu pulang, kalau perlu bekali dengan sedikit uang. Yakinkan dia untuk tidak memberi pisang pada bayi merah itu. Jangan mengecam bapaknya, siapa tahu dia memang awam tentang perawatan bayi. Bukannya Ummi pakar. Ummi juga masih belajar, dari kamu, guru kecil Ummi.
Comments