Review: Wonder (2017)

You can’t blend in when you were born to stand out.

Disclaimer:
  • I’m not a big fan of movie adaptation. I hate almost all movie adaptation. 
  • I read the book first. 
  • In real life, I am Isabel Pullman. 

Beberapa bulan silam, saya membeli buku Wonder (R.J.Palacio) dengan alasan sepele. Kalau nanti filmnya dirilis, cover buku keburu jadi poster film. Sesuka-sukanya saya sama Mbak Julia, kayanya nggak deh kalau harus punya buku dengan sampul bergambar wajah Mbak Ju. Serius. Saya sampe batal beli The Fault in Our Stars gegara sampul di toko buku mendadak jadi Shaylene Woodley. 

And I loves the book. Jadi saat filmnya keluar, jadi penasaran bakal dibikin kaya apa nih buku?

Baiklah. First of all, ada banyak scene yang membuat saya berseru (dalam hati, tentu): “Woi itu kalimat milik si A. Kok diucapkan si B?” Atau “Perasaan urutan kejadiannya gini deh.” 

Setelah lima menit pertama, saya memutuskan untuk menonton dengan lebih santai. Saya menonton dengan mengabaikan fakta bahwa saya sudah baca bukunya berkali-kali. Dan saya bisa menikmati filmnya dengan lebih tenang. Dan menangis. 

Auggie Pullman (Jacob Tremblay) adalah penyandang kelainan langka. Secara umum, dia adalah anak biasa. Yang tak biasa adalah penampilannya. Karena kelainan langka yang dimilikinya, Auggie harus menjalani serangkaian operasi sejak usia sangat muda.  Dia homeschooled bukan semata karena penampilannya, tapi  juga karena banyaknya prosedur medis yang harus dijalani. Dalam buku, tidak disebutkan dengan pasti sindrom yang dimiliki Auggie. Namun dalam film, Auggie adalah penyintas Treacher-Collins Syndrome, seperti yang dinyatakan R.J. Palacio setelah bukunya diterbitkan. 

Long story short, Auggie masuk sekolah umum dan petualangan dimulai.

Film ini mengajak untuk melihat penyandang kelainan langka dari beragam kacamata. Dari sudut pandang Auggie, yang ingin sekali dianggap normal namun dia tahu itu sulit.

Via, kakak Auggie dengan segala kompleksitas masa remaja dan perasaan bahwa dunia berputar mengelilingi Auggie. I had the feeling this is exactly how Ankaa felt all the time.

Isabel dan Nate, yang adakalanya tidak yakin apakah mereka sudah melakukan yang terbaik. Namun tetap bisa menemukan sisi baik dari tiap kejadian. As Isabel said, Auggie is a wonder.

Jack Will dan Summer, yang belajar bahwa menerima teman yang berbeda. Bahwa ga masuk kelompok populer pun baik-baik saja kok. 

Satu bagian buku yang saya sesalkan ga muncul dalam film adalah: Where’s the Lobot? Mana alat bantu dengarnya? Apalagi momen Auggie mulai memakai ABD adalah saat teman-temannya mulai menerimanya dengan baik, bahkan Jack menganggapnya keren seperti agen FBI. Apalagi adegan berantem di natural reserve itu berujung hilangnya ABD dan Auggie tahu bahwa bullying dianggap pelanggaran berat karena Mr. Tushman menawarkan untuk pressing charges

Overall, ini film keren untuk spread the awareness bahwa banyak loh penyintas kelainan langka sekitar kita. Jangan dijauhi, jangan dipandang aneh. Jangan pula dibilang kutukan atau gegara ortunya keberatan dosa. Cukup menerima mereka dengan baik, itu aja udah bikin seneng kok.

Lebih umum lagi, ini film bagus tentang bullying. Bahwa bullying ga melulu tentang kekerasan fisik. Cukup ejekan lisan atau tulisan pun bisa jadi bullying. Bahwa orang dewasa yang harusnya intelek dan terhormat pun bisa jadi bullies (baca: Melissa Albans). 

Bahwa anak yang mem-bully, seringkali, meniru dari lingkungan terdekatnya. Children see, children do. Iya sih sebel sama tokoh Julian. Tapi pas tahu emaknya, ada juga malah kasihan. Poor boy.

Everyone in the world should get a standing ovation at least once in their life because we all overcometh the world.
(Auggie Pullman)

Comments

Popular posts from this blog

iwan fals di minggu pagi

Dear Manajemen Plaza Bintaro Jaya,

RS Melati Husada