Jakarta, riwayatmu kini


Orang Jakarta tua di jalan. Aku membaca kalimat itu entah di mana, entah kapan. Yang jelas lebih dari tiga tahun silam, sebelum aku menginjakkan kaki di sini. Dulu aku sempat enggan ke Jakarta. Bayangan hawa panas, macet, polusi, dan rawan kejahatan membuat gentar. Tapi toh rupanya memang jalan hidup membawa aku ke sini. Dan macetnya, tetap bikin sebel. Bener-bener bikin tua di jalan.

So far, aku bisa bertahan. Bisa betah. Dan seringkali, malah menikmati.

Aku tidak punya kendaraan pribadi. Jadi pergi ke mana pun selalu naik kendaraan umum. Biasanya ya bus Patas, metromini, dan sejawatnya. Paling top, ya taksi. Tapi kalau sedang tanggung bulan, naik taksi deg degan juga. Rasanya putaran argo melebihi putaran roda.

Naik bus (istilah ini selanjutnya berlaku juga untuk metromini, kopaja, dan rekan-rekannya, karena mengetik tiga huruf jelas lebih mudah), suka dukanya banyak. Kalau sedang kosong, seneng banget. Ya mungkin jiwa anak-anak yang selalu excited tiap kali naik kendaraan gede ya. Duduk sendirian di bangku untuk dua orang sering membuat aku merenungkan hal-hal yang herannya jarang terlintas saat sedang santai.

Melihat banyaknya pohon palsu menghiasi Jakarta, membuat aku berpikir apa indahnya plastik warna warni seperti itu? Apa gunanya daun palsu itu dalam menahan pekatnya polusi?

Melihat orang membuang puntung atau sampah sembarangan, membuat aku berpikir apa susahnya mematikan rokok dan memasukkan puntungnya dalam tong sampah? Apa Jakarta belum cukup kesesakan hingga asap racunnya masih terus ditambah?

Melihat orang tua mengemis, membuat aku berpikir ke mana keluarga mereka? Ke mana usia muda mereka pergi? Apa saja yang sudah mereka alami hingga masih harus terdampar di jalanan?

Melihat bocah kecil mengamen sambil menangis, membuat aku berpikir betapa beruntungnya aku terlahir sebagai aku. Tidak kaya, tapi tidak sampai melarat sedemikian rupa hingga memaksa aku melewatkan masa kanak-kanak di jalanan. Membuat aku bersyukur betapa beruntungnya aku.

Melihat dan mengalami macet, membuat aku terheran-heran kenapa showroom mobil masih didirikan di mana-mana. Kurang banyakkah kendaraan pribadi di kota sesak ini? Kenapa ga kendaraan umum saja yang diperbarui? Kok ya tega duduk nyaman di mobil mewah sementara penumpang bus sebelah yang sama-sama kena macet berdesakan melawan panas, asap, dan copet.

Melihat pembangunan mall baru yang diklaim supermewah, membuat aku bertanya-tanya, buat apa itu semua? Siapa yang mau belanja di sana? Pangsa pasar memang ada, tapi apa masih kurang segala mall di sini? Sementara anak tetangga main bola-bulutangkis-engklek di jalan sempit. Community development? Masukin aja keranjang sampah.

Sampah? No comment deh.

Pelecehan? Buanyak banget. Sampe kmaren aku terima imel yang isinya jepretan paparazzi amatir. Foto cewe pake rok mini di busway. Jadi pengen bunuh tu paparazzi.

Kejahatan? Ah kota ini mah biangnya.

Anyway, met ultah Jakarta. Jangan bikin mall lagi ya. Tolong benerin itu bus-bus yang dah ga layak jalan. Tolong juga perhatikan nasib awak bus. Mereka juga butuh makan. Jalanan jangan digali-gali lagi yah. Masa gali lubang tutup lupaTM? Ah iya, tolong itu trotoar dilebarin dikit dong. Beberapa kali aku hampir keserempet bus gara-gara ga ada trotoar. Dan tulung dibikin gimana caranya biar motor-mobil itu ga lewat trotoar. TROTOAR HAK PEJALAN KAKI!!! KENDARAAN BERMOTOR KAN UDAH PUNYA JATAH SENDIRI!!! Tuh kan aku jadi bentak-bentak lagi. Jadi inget masa PDKT, tul ga Dhi?


Met ultah Jakarta. Kota yang kian tua kian pesolek demi menutupi bopeng-bopeng yang kian bertambah.

ah iya, foto itu? kenangan jalan-jalan the three musketeers

Comments

L. Pralangga said…
Well, at least kondisi di Jakarta masih jauh lebih baik ketimbang disini... :)

Negeri yang baru aja lepas dari perang sodara berkepanjangan..

Paparazi? suruh kesini aja -banyak malah photo-shoot yang lebih bermanfaat buat diangkat :)
Anyhow, seneng bisa mampir kesini, salam kenal dari afrika barat.

Popular posts from this blog

iwan fals di minggu pagi

Dear Manajemen Plaza Bintaro Jaya,

RS Melati Husada